Senin, 02 Maret 2015

SEJARAH & ISI SURAT SUPER SEMAR

Sejarah Singkat dan Kontroversi Supersemar - Surat Perintah 11 Maret 1966

Supersemar Versi Orde Baru
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang sangat populer dikenal melalui akronim "Supersemar" adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang sangat buruk pada masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hingga saat ini, naskah Supersemar yang menyebar di kalangan masyarakat secara luas melalui buku-buku teks pelajaran sejarah nasional adalah keluaran versi Markas Besar TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1966 dan semakin diperkuat setelah Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1968. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia meyakini bahwa ada beberapa versi naskah Supersemar, sehingga masih perlu adanya penelusuran dan penelitian terhadap naskah Supersemar yang asli yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno di Istana Bogor. Sampai saat ini pun, naskah Supersemar yang asli masih misterius dan belum ditemukan, karena para pelaku sejarah lahirnya Supersemar semuanya telah meninggal dunia.
Presiden Sukarno Melantik Letnan Jenderal Suharto Sebagai Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat
Sejarah Lahirnya Supersemar

Menurut versi resmi yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan Presiden Suharto, sejarah awal lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno mengadakan sidang pelantikan "Kabinet Dwikora yang Disempurnakan", yang juga dikenal dengan istilah "Kabinet Seratus Menteri", karena jumlah menterinya mencapai lebih dari 100 orang. Pada saat sidang kabinet dimulai, Brigadir Jenderal Sabur sebagai Panglima Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno) melaporkan bahwa banyak 'pasukan liar' atau 'pasukan tak dikenal' yang belakangan diketahui adalah pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu anggota kabinet tersebut adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.
Pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Oleh Presiden Sukarno

Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh langsung berangkat menuju Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan. Sidang kabinet itu sendiri akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke Bogor.

Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Suharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Konon, Letnan Jenderal Suharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Suharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk 'menunggu situasi', karena cukup janggal.

Malam harinya, Letnan Jenderal Suharto mengutus tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Setibanya di Istana Bogor, terjadi dialog antara tiga perwira tinggi AD tersebut dengan Presiden Sukarno mengenai situasi yang terjadi. Ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Letnan Jenderal Suharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan stabilitas keamanan nasional apabila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil tindakan.

Brigjen. Muhammad Jusuf, Brigjen. Basuki Rachmat, dan Brigjen. Amir Machmud

Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Sukarno berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Akhirnya, Presiden Sukarno setuju terhadap usulan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima TNI Angkatan Darat agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Ilustrasi Presiden Sukarno Menandatangani Supersemar Versi Rezim Orde Baru

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul 01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI AD Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib Letnan Jenderal Suharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.

Presiden Sukarno dan Letnan Jenderal Suharto Sedang Bergurau

Berbagai Kontroversi Sejarah Lahirnya Supersemar
Lahirnya Supersemar ternyata diiringi oleh berbagai kontroversi yang menyebabkan sejarah pasti terbitnya surat perintah tersebut masih 'gelap' hingga saat ini.
  • Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi TNI AD yang akhirnya menerima surat itu, ada seorang perwira tinggi yang membaca naskah Supersemar, kemudian kaget dan berkomentar, "Lho, ini 'kan perpindahan kekuasaan?". Naskah asli Supersemar semakin tidak jelas, karena beberapa tahun kemudian dinyatakan hilang. Hilangnya naskah asli Supersemar pun tidak jelas oleh siapa dan di mana, karena pelaku sejarah peristiwa Supersemar tersebut saat ini sudah meninggal dunia semua. Belakangan, keluarga Muhammad Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada dalam dokumen pribadi sang jenderal yang disimpan di sebuah bank.
  • Menurut kesaksian salah satu pasukan pengawal Presiden Sukarno (Tjakrabirawa) di Istana Bogor, Letnan Dua Sukardjo Wilardjito, perwira tinggi militer yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 bukan hanya tiga orang, melainkan empat orang, karena Brigadir Jenderal Maraden Panggabean juga ikut serta. Berdasarkan kesaksiannya, Sukardjo Wilardjito menerangkan bahwa Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf membawa stopmap berwarna merah jambu berlogo Markas Besar Angkatan Darat, kemudian mengeluarkan secarik kertas berisi naskah Supersemar untuk ditandatangani Bung Karno. Setelah membaca naskah Supersemar, Bung Karno sempat heran dan bertanya, "Lho, kok ini diktumnya diktum militer, bukan diktum kepresidenan?". Brigadir Jenderal Amir Machmud lantas menjawab, "Untuk mengubah waktunya sudah sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah." Kemudian, Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean mencabut pistol dari pinggangnya, lalu menodongkannya ke arah Presiden Sukarno. Melihat keselamatan Presiden Sukarno sedang terancam dalam bahaya, Sukardjo pun segera mengeluarkan pistolnya juga dan menodongkannya ke arah Basuki Rachmat dan Maraden Panggabean. Segera setelah itu, Presiden Sukarno langsung mengatakan, "Jangan, jangan! Sudah, sudah! Baiklah kalau memang surat ini harus aku tandatangani dan harus aku serahkan kepada Harto. Tetapi, kalau situasi sudah kembali pulih, mandat ini agar dikembalikan lagi kepadaku." Presiden Sukarno pun menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean. Setelah Supersemar ditandatangani oleh Presiden Sukarno, pertemuan pun bubar. Setelah memberikan salam kepada Presiden Sukarno, para jenderal utusan Suharto kemudian kembali menuju ke Jakarta. Saat itu, Sukardjo langsung merasakan firasat buruk, terlebih seusai Bung Karno berpesan, "Mungkin aku harus meninggalkan istana. Berhati-hatilah kamu." Itulah kata-kata terakhir Presiden Sukarno kepada Sukardjo, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala untuk memberikan hormat sekaligus bentuk kekagumannya kepada Bung Karno. Sukardjo langsung yakin bahwa peristiwa penandatanganan Supersemar yang diawali dengan penodongan pistol ke arah Presiden Sukarno tersebut pasti akan diselewengkan oleh Suharto. Benar saja, tidak lama kemudian (sekitar 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Letnan Dua Sukardjo Wilardjito beserta rekan-rekan pengawalnya sesama anggota pasukan Tjakrabirawa dilucuti senjatanya, kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer. Mereka semua lantas diberhentikan dari dinas militer. Hingga saat ini, kesaksian Sukardjo Wilardjito adalah referensi sejarah yang paling sering dirujuk dan paling dipercaya oleh banyak orang terkait kontroversi lahirnya Supersemar, meskipun beberapa kalangan menyatakan keraguannya terhadap penuturannya tersebut. Bahkan, dua di antara para pelaku sejarah Supersemar, yakni Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf dan Jenderal (Purn.) Maraden Panggabean dengan tegas membantah peristiwa tersebut. Mereka menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar dalam 'kondisi baik dan hangat', bukan di bawah todongan senjata.
  • Menurut kesaksian Anak Marhaen Hanafi (A. M. Hanafi), seorang mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba yang dipecat secara inkonstitusional oleh Presiden Suharto, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean tidak ikut ke Istana Bogor bersama tiga jenderal lainnya (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad Jusuf). Hanafi pun membantah kesaksian Letnan Dua Sukardjo Wilardjito yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol pada malam hari tanggal 11 Maret 1966. Menurut A. M. Hanafi, pada saat itu Presiden Sukarno sedang menginap di Istana Merdeka, Jakarta, untuk keperluan sidang kabinet esok pagi harinya. Sebagian besar menteri juga sudah menginap di istana untuk menghindari hadangan berbagai demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta jika berangkat keesokan harinya. Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut kesaksiannya, hanya ada tiga jenderal yang pergi ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno yang telah berangkat terlebih dahulu, yakni Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad Jusuf. Sebelum bertolak dari Istana Merdeka, Amir Machmud dikatakannya menelepon Komisaris Besar Sumirat, pengawal pribadi Presiden Sukarno, untuk meminta izin datang ke Istana Bogor menghadap Bung Karno. "Semua itu ada saksi-saksinya," ujar Hanafi. Ketiga jenderal tersebut rupanya sudah membawa naskah Supersemar. Di Istana Bogor yang ternyata sudah dikelilingi berbagai demonstrasi dan tank militer, Bung Karno pun menandatangani Supersemar, tetapi tidak ditodong pistol oleh para jenderal, karena mereka dikatakannya datang secara baik-baik. Hanafi menyatakan bahwa atas sepengetahuannya, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan tetap berada di Istana Merdeka bersama menteri-menteri yang lain, sehingga tidak mungkin Panggabean ikut hadir ke Istana Bogor.
  • Tentang pengetik naskah asli Supersemar pun masih 'gelap' hingga saat ini. Masih tidak jelas siapa sebenarnya yang mengetik naskah asli Supersemar. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik naskah asli Supersemar. Dari beberapa pengakuan tersebut, yang paling dipercaya adalah Letnan Kolonel Ali Ebram, yang pada saat peristiwa Supersemar menjabat sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
  • Sejarawan asing bernama Ben Anderson mengungkapkan bahwa ada salah satu tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor bersaksi tentang kop surat yang dipakai dalam naskah asli Supersemar. Menurut tentara yang tidak diketahui namanya tersebut, teks naskah asli Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas Besar Angkatan Darat, bukan di atas surat yang berkop Presiden Republik Indonesia. Hal inilah yang menurut Ben dapat menjadi jawaban mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Letda. (Inf.) Sukardjo Wilardjito dan Buku Kesaksiannya Tentang Supersemar

Dikutip dari Wikipedia, pasca-tumbangnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden Suharto, ada beberapa versi tentang isi naskah Supersemar. Akan tetapi, dari beberapa versi yang bermunculan tersebut, setidaknya ada tiga versi yang paling dipercaya sebagai 'representasi' atau gambaran dari isi naskah Supersemar yang asli, dimana salah satunya tentu saja adalah versi rezim Orde Baru yang telah 'dilestarikan' selama 32 tahun. Tiga versi naskah Supersemar dapat disimak melalui gambar-gambar di bawah ini.

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Rezim Orde Baru

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Sumber Lain

Perbedaan Dua Klausa Dalam Dua Versi Supersemar (Versi Rezim Orde Baru dan Versi Sumber Lain)

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Berbagai usaha pernah dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai naskah asli Supersemar. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya pada tanggal 8 September 2004 silam agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Arsip Nasional juga sempat meminta bantuan Muladi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dan Maulwi Saelan, bahkan DPR untuk memanggil Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf. Akhirnya, usaha Arsip Nasional tersebut tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya adalah mantan Presiden Suharto. Akan tetapi, dengan wafatnya Pak Harto pada tanggal 27 Januari 2008 membuat misteri sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap. Atas kesimpangsiuran Supersemar tersebut, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia sepakat mengatakan bahwa peristiwa G-30-S 1965 dan Supersemar 1966 adalah salah satu dari sekian sejarah nasional Indonesia yang masih 'gelap'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar