Potensi
dan Kekuatan Ekonomi Indonesia 2011-2030
MENYOAL
LIMA MITOS DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
Sebuah
laporan yang bertajuk "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s
Potential" yang memberi gambaran prospek perekonomian Indonesia dalam
beberapa waktu terakhir ini menjadi perbincangan hangat. Dalam laporan yang
dirilis oleh MCKINSEY & Company itu dikatakan bahwa pada 2030, perekonomian
Indonesia berada di peringkat ke-7 mengalahkan Jerman dan Inggris (UK).
Tentu
saja laporan itu bukanlah pertama dan satu-satunya, menyebut potensi
perekonomian Indonesia di masa mendatang. Lembaga survei Goldman Sachs,
sebelumnya telah melaporkan mengenai Brazil-Rusia-India-China (BRIC). Setelah
melansir konsep BRIC, lembaga investasi global ini juga
mengeluarkan konsep “The Next-11 countries”, yang menyebutkan
Indonesia termasuk dalam kelompok itu.
Goldman
Sachs termasuk yang pertama menyebut potensi perekonomian Indonesia. Setelah itu,
muncul laporan-laporan dari Morgan Stenley, CLSA, Standard-Chartered Bank dan
sebagainya.
Laporan-laporan
yang memuji perekonomian Indonesia tidak selalu dikeluarkan oleh lembaga
investasi. Badan-badan level dunia seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia,
OECD dan lain-lain juga menempatkan Indonesia pada posisi penting. Pokok
persoalan yang disoroti kurang lebih juga sama.
Pertama,
Indonesia akan menikmati bonus demografi (demographic dividend).
Kedua, kekayaan sumber daya alam negeri ini menjadi kekuatan perekonomian
Indonesia. Seperti dikutip dalam beberapa tahun ke depan, perekonomian
Indonesia akan pertumbuhan cukup tinggi di atas 6%. Selain bertumpu pada
meningkatnya permintaan domestik, pertumbuhan ekonomi kelas menengah, kinerja
perekonomian Indonesia juga sangat ditentukan oleh produktivitas tenaga
kerjanya.
Kedua
faktor inilah yang membuat perekonomian Indonesia memiliki prospek yang semakin
membaik di masa mendatang.
Dalam
mendeskripsikan permintaan domestik, laporan ini menunjukkan pertumbuhan
kelompok dengan kekuatan konsumsi yang relatif tinggi (consuming class).
Pertumbuhan kelompok ini cukup tinggi, jika pada 2010 baru sekitar 40 juta
penduduk, pada 2030 nanti akan ada 170 juta penduduk dengan criteria sebagai
kelompok dengan tingkat konsumsi tinggi itu.
Selain
itu, laporan The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential
juga mengulas lima mitos dalam perekonomian Indonesia.
Pertama,
perekonomian Indonesia relatif tidak stabil. Kedua, pertumbuhan ekonomi
hanya berpusat di Ibukota, Jakarta. Ketiga, Indonesia hanya sebagai follower
strategi keberhasilan negara-negara di Asia lainnya, sebagai negara berbasis
ekspor. Keempat, sumber daya alam adalah faktor terpenting pertumbuhan
ekonomi. Kelima, pertumbuhan hanya didukung oleh banyaknya tenaga kerja,
dan bukan tingkat produktivitasnya.
Dalam
laporan itu, kelima mitos itu dikritisi untuk memberikan justifikasi bahwa
perekonomian Indonesia layak untuk tumbuh menjadi negara besar. Tentu saja kita
semua sepakat dengan argumen-argumen yang disampaikan dalam laporan itu. Namun,
bukan berarti kita harus berpuas diri dengan pencapaian yang telah diraih,
serta melupakan beberapa agenda persoalan yang masih tersisa.
Baru-baru
ini, Forum Ekonomi Dunia meluncurkan peringkat daya saing, di mana Indonesia
merosot dari posisi ke-46 menjadi posisi ke-50. Dan di sana, 3 persoalan yang
selalu menjadi kendala dalam meningkatkan perekonomian adalah buruknya
birokrasi, tingginya korupsi dan ketidaktersediaan infrastruktur secara
memadai. Memang tampaknya kontradiktif laporan McKinsey dengan hasil survei
itu.
Namun
jika kita perhatikan, sebenarnya poinnya sama, dimana sebenarnya prospek
perekonomian Indonesia sangat baik, tetapi terhambat oleh masalah-masalah
struktural.(dbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar