Sejarah Asal Mula Lahirnya GAM Di ACEH, Berlatar Belakang Karna Penindasan Dan Pelecehan Tanah Adat.
Lahirnya GAM indentik dengan negara republik indonesia, sebab dari
situlah kisah gerakan menuntut kemardekaan di mulai. Lima hari setelah
RI diproklamasikan, ACEH menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap
kekuasaan pemerintah yang berpusat di JAKARTA.
Di bawah residen ACEH yang juga tokoh terkemuka teungku NYAK ARIF, ACEH
menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemardekaan RI. Dan aceh sebagai
bagian takterpisahkan. Pada 23 agustus 1945 sedikit nya 56 tokoh Aceh
berkumpul dan mengucapkn sumpah Demi allah saya akan setia untuk membela
kemardekaan RI sampai titik darah saya yang terakhir. Kecuali MUHAMMAD
DAUD BEUREUEH ,
Seluruh tokoh dan ulama ACEH mengucapkan janji itu. Pukul 10.00
HUSEIN NAIM dan M.AMIN BUGEH mengibarkan bandera di gedung shuchokan
(kini kantor gubernur) TGK NYAK ARIEF gubernur di bumi serambi mekkah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka
para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan
Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola
sendiri negara Aceh.
Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud
Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud
Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok
digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara
atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun
hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta
dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan
Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M.
Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela
kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari
dr.Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias,
Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragir, Riau,
Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia
pun berkampanyekepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI.
Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun
kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar
AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu
diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran
pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan
RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada
pemerintah pusat melalui AA Maramis.
Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah,
membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian
dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI Saat itu Soekarno
menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI. Setahun berlangsung,
kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara.
Rakyat Aceh marah. Apalagi,janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh
akan di beri hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam
tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak
menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang.
Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam.
Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam.
Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia
pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada
1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan
bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh
melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung
sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam
Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah
daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955
telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak
berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki.
Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai
gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi
daerah istimewa. Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan
dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis.
Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi.
Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti
tokoh DI/TII lain nya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap
gerilya di hutan, melawan Soekarno Beureueh merasa dikhianati Soekarno.
Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak
menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh
itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan.
Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh.
Tahun 1962, Beureueh di bujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti
Menhankam A Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji
akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun
2001). GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi
industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan
segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi,
mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan
adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan
industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat
Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan.
Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang
kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat
Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat
meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang
mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa
tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro
yang sedang belajar di Amerika.
Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan saleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1976, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, danagamanya yang diinjak- injak Soeharto. Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun Kekuatan bersenjata pun disusun.
Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan saleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1976, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, danagamanya yang diinjak- injak Soeharto. Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun Kekuatan bersenjata pun disusun.
Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya,
dan dananya? MASIH ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei lalu.
Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan
sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah
menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM
melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan
ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu
sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini.
Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit
melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu.
Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat
yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi
GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm)
sempat mengatakan, bayi- bayi warga Aceh telah disediakan senjata
AK-47 oleh Gam mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan
segera pergi berperang melawan TNI. Sejatinya, basis perjuangan GAM
dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi
langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari
sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan
Aceh Utara- Pidie.
Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh
komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti
Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan
Kazakhstan Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah- ubah
tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando,
yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik,
Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi
panglima wilayah. Sejak berdiri tahun 1976, GAM dengan cepat melakukan
pendidikan militerbagi anggota-anggota nya. Setidaknya tahun 1980-an,
ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia.
Saat itu Presiden Libia Muammar Khadafi mengadakan pelatihan militer
bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil
memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader
GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar,
Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun
1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM,
pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan
intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh.
Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM
(semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para
pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur
lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke
Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan
dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan
petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga
sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan
tempur, intelijen, polisi, pasukan inong bale
(pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar
Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad
Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota
GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sumber
resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan
Machfud MD menyebut 4.869 personel.
Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di
Filipina Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan,GLM,
mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan.
Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana
persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya.
Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand,
Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan
separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan
Afghanistan.
GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom
Aceh Barat dan di Lhokseumawe dan Nisam Aceh Utara serta di Aceh Timur.
Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras
panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai
dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah
dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolah kan ke
Afghanistan dan Libia Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan
Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang
haus kekayaan.
Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM
ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke
oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun
2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk
pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang
dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata
berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus
memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi
perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang
lebih modern daripada TNI.
Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata
otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air.
Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap
anggota TNI/Polri yang teledor. Membeli senjata tentu dengan uang
melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka
mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha
Aceh yang sukses di luar negeri.
Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa.
Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-
perusahaan lokal dan multinasional di Aceh. Sebagai gambaran, tahun 2000
lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal
bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat
berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang
ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk
Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 ke GAM untuk biaya keamanan GAM
kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib
tersebut.
Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha sahabat
GAM itu. Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi
berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain
handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon
satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri
dimentahkan aksi- aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal
total. Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu
GAM survive Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian
anggota GAM yang ditangkap.
Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak
berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan
Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak
zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat
Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh
menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa
menaklukkan mereka. kalau boleh jujur gw salute banget sama organisasi2
yang GAM pimpin… sebegitu rapinya, hingga tidak dipungkiri TNI AL
kewalahan dalam menghadapi aksi mereka…
Aceh Tidak Pernah Berontak Pada NKRI……Percayalah Di dalam buku-buku
pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum
terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar
istilah pemberontakan rakyat Aceh atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung
Karno hingga presiden- presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan
dari berbagai daerah terutama dari Jawa dikirim ke Aceh untuk
memadamkan pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah
‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.
Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan
kurang tepat? Karena sesungguhnya dan ini fakta sejarah bahwa Naggroe
Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun
menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak”
dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda Sudah
Merdeka Sebelum NKRI Lahir, NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad- abad
sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri,
menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan
pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki
Utsmaniyah.
Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak
abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha
Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di
abad ke -20? Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdau- lat yang
sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda
pernah dua kali mengirimkan pasukan nya dalam jumlah yang amat besar
untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan,
walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat
negerinya.
Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada
rakyat Aceh adalah mempertahan kan marwah, harga diri dan martabat, Aceh
Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun
Meukuta Alam yang bernafaskan Islam Saat itu, kita harus akui dengan
jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela
Indonesia Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam
berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai
“Negara” yang merdeka dan berdaulat.
Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19 Jika
diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia
dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri,
sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri
saja belumlah mampu melakukannya. Banyak literatur sejarah juga lazim
menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut
hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah
menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai
rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh.
Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan
berdaulat. Mesjid Baiturahman tahun 1895 Dipersatukan Oleh Akidah
Islamiyah Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia,
bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia
dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia lebih dari
daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat
Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman
dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa
Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji
bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan
serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu
yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh. Namun sejarah juga mencatat
bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah
dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat
Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan.
Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat
sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh. Dengan kebijakan ini,
pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak
memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh.
Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah
sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan
sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh
yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang
sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu,
manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba.
Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi
baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena
bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri. Saat perang
mempertahan kan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh
berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan
ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah
Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi
jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera
Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.
Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku
Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik
Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara
Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamir kan S. M.
Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan
syiar Islam. Dengan logika ini Aceh bukanlah berontak atau separatis,
tapi lebih tepat dengan istilah menarik kembali kesediaan ber gabung
dengan republik karena tidak ada manfaatnya.
Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan
pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan
historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh
dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita
dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada
berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan
konspirasi Barat. Tentara Marechaussees / KNIL Membantai rakyat Aceh
Cara Pandang Majapahitisme Mengatakan Aceh pernah melakukan
pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang ber angkat dari
paradigma ‘Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa
cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme’
atau Jawa Sentris, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu.
Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah- istilah
sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam akidah
Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk
dosa yang tidak terampunkan. Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu
negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan
istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi
penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan
menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh
sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah
sesuatu yang tidak bisa diterima. Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat
kental dengan nuansa Hinduisme.
Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu,
di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar.
Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya
sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut
beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak
untuk “mencicipi keperawanan” setiap perempuan yang disukainya di dalam
wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan
itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu
untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki. Ini
sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di
Kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah
SWT. Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda
telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan
Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam
‘Konstitusi Negara” Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang
berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa
dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak.
Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang
bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di
Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya,karena sikap dan
tindak- tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh
nilai-nilai Quraniyah. Jadi, jelaslah bahwa sosio- kultur antara
Nanggroe Aceh Darussalam dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat
bertolak-belakang. Nangroe Aceh Darussalam bersedia mendukung dan
menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno,semata-mata karena
meyakini tali ukhuwah Islamiyah.
Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde
Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke
Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung
dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak.
Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta”
terhadap Nanggroe Aceh Darussalam. Dan ketika Nanggroe Aceh Darussalam
sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar